30 September 2008

SINDO BERBAGI KEBAHGIAAN

SURABAYA (SINDO) - BULAN Ramadhan sudah hampir tiba dipenghujungnya. Namun SINDO belum berhenti memberikan kejutan bagi masyarakat Jawa Timur. Sebanyak 125 bingkisan yang terdiri dari snack dari kokola, Garuda Food, Holland Bakery, Voucer dari Anugrah motor Surabaya, dan satu eksemplar koran SINDO diberikan kepada penjaga perlintasan rel kereta api dan Polisi di Surabaya.
"Terima kasih pak, saya nggak mengira ada kejutan dari koran SINDO, sebenarnya kaget juga, wong malam-malam diberi bingkisan, tapi lumayan buat camilan biar nggak ngantuk, "kata Yunus, penjaga perlintasan kereta api di jemursari, Surabaya. yang mendapatkan bingkisan dari SINDO dalam kegiatan "Roadshow Berbagi Kemeriaan" tersebut.
Selain kepada penjaga perlintasan KA, SINDO juga memberikan bingkisan kepada para Polisi, kedua profesi ini sangat berjasa dalam membantu kelancaran arus mudik Lebaran. Sejumlah polisi yang berada di Pos Ketupat depan Kebun Binatang Surabaya (KBS) juga tidak menyangka akan mendapatkan bingkisan dari Koran SINDO. Mereka sumringah dan berterima kasih atas pemberian bingkisan tersebut.
Wakil Kepala Biro SINDO Jawa Timur, Sonny Djokosasongko mengatakan, kegiatan ini adalah bentuk perhatian lebih kepada warga masyarakat yang tidak dapat mudik karena tugas dan tanggung jawab. "Dengan kegiatan ini kami juga ingin mendekatkan SINDO pada masyarakat, lebih-lebih pada petugas yang tidak mudik seperti petugas penjaga perlintasan KA dan Pos Polisi," kata Sonny disela sela acara.
Dalam Roadshow minggu (28/9) malam itu, bingkisan telah dibagikan di 16 titik sasaran, yaitu Pos Polisi Rungkut Industri, Pos Perlintasan KA jemursari, Pos Polisi Jemursari, Pos Polisi Pertigaan Margorejo, Perlintasan kereta apai RSI, Polsek Wonokromo, Pos Polisi Wonokromo depan KBS, Pos Pantau Adityawarman, Pos Polisi Bundaran Satelit, Polsek duku Pakis, Pos Polisi dijalan Polisi Istimewa, Polsek Tegal sari, dan yang terakhir di pos polisi depan Tunjungan Plaza Surabaya.
" Ini merupakan rangkaian kegiatan SINDO selama bulan Ramadhan. Pembagian bingkisan ini adalah kegiatan yang ke 20. sebelumnya, selama 15 hari kami memberikan bingkisan kepada pengguna jalan Tol Waru, Kami juga mendirikan Bengkel Mudik di ITC Mega Grosir Surabaya. Pada bulan yang penuh rahmat dan berkah ini, kami juga memberikan bingkisan pada loper dan Agen SINDO," ujar Sonny.

Pelajar Swasta Surabaya dapat Rp.202 Miliar

SURABAYA (SINDO) – Pemerintah Kota Surabaya mengalokasikan Rp202 miliar bagi pelajar dan sekolah swasta. Sebanyak Rp152 miliar digunakan untuk dana pendamping bantuan operasional sekolah (BOS) bagi 194.616 pelajar SD hingga SMA/SMK.

Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Kota Surabaya Tri Rismaharini menuturkan, anggaran subsidi bagi pelajar swasta masuk mata anggaran bantuan operasional pendidikan (BOP) yang dikelola Badan keuangan Daerah.BOP pelajar swasta digabungkan dengan BOP anak usia sekolah yang tidak sekolah.“Total anggaran BOP di Badan Keuangan Daerah tahun depan Rp 183 miliar,” ujar Risma kemarin. Dari dana Rp183 miliar itu,sebanyak Rp31,08 miliar disalurkan kepada anak usia SD dan SMP yang tidak sekolah.Sisanya untuk pelajar SD hingga SMA/SMK swasta di Surabaya.

Subsidi disesuaikan dengan jenjang sekolah masing-masing. Paling besar untuk pelajar SMK.”Setiap bulan, alokasi untuk pelajar SMK Rp150.000,SMA Rp85.000 per bulan per pelajar. Sementara untuk SD dan SMP, masing-masing Rp29.000 dan Rp70.500 per pelajar per bulan.SMK dapat lebih besar karena untuk mendorong pelajar memilih SMK. (an)

Pengusaha Sarang Walet, Bagikan Zakat Rp. 2 Milyar

LAMONGAN (SINDO) – Orang kaya yang ingin bagi-bagi duit langsung terus bermunculan.Setelah Syaichon Fikri di Pasuruan dan Syekh Pudji dari Ungaran, Kabupaten Ambarawa, Jawa Tengah, kemarin giliran Ghaffar Ismail, seorang haji dari Lamongan.

Tak tanggung-tanggung, pengusaha pupuk dan sarang burung walet itu bagi-bagi duit Rp2 miliar! Jumlah ini jauh lebih ”menggunung” daripada zakat Syaichon yang ”hanya” Rp50 juta maupun uang Rp1 miliar yang dibagikan Syekh Pudji untuk fakir. Warga Desa Kebonsari,Kecamatan Sukodadi,Kabupaten Lamongan itu memilih membagikan langsung zakat yang jumlahnya melimpah itu. Dia sama sekali tak khawatir tragedi Pasuruan bakal terulang. Sedikitnya 12.000 dhuafa berbondong-bondong mendatangi rumah Ghaffar, berharap mendapat bagian dari bagi-bagi rezeki bulan suci itu. Mereka tak hanya datang dari Lamongan.Tak sedikit yang datang jauh-jauh dari Gresik, Tuban, Bojonegoro,dan Mojokerto.
Dewasa mendapat Rp50.000 dan anak-anak Rp20.000. Meski zakat baru dibagikan sekitar pukul 10.00 WIB, para dhuafa mulai berdatangan sejak pukul 06.00 WIB. Mereka berkumpul di Lapangan Ponpes Sabilillah,pondok yang diasuh Ghaffar. Makin siang makin berjubel apalagi setelah dhuafa dari daerah lain mulai berdatangan. Sesekali mereka saling dorong, saat dhuafa yang datang belakangan berebut masuk dahulu. Beruntung Ghaffar belajar dari tragedi Pasuruan.Dia mengantisipasi agar masa tak terlalu menumpuk, yang bisa membuat acara amal itu malah bubrah. Dhuafa laki-laki dengan perempuan dibedakan.Yang perempuan didahulukan dan baru dibagikan sekitar pukul 10.00 WIB.Tiga jam kemudian baru pembagian untuk laki-laki. Sebelum masuk ke lapangan ponpes, para dhuafa diberi kupon,yang kemudian ditukarkan dengan amplop berisi uang.
Panitia juga menyediakan tim kesehatan.Puluhan polisi Satpol PP dan para santri dilibatkan untuk mengamankan pembagian zakat. Kendati begitu riak-riak kecil kerap terjadi. Beberapa kaum dhuafa sempat dinyatakan pingsan. Menurut catatan tim medis, sedikitnya enam dhuafa pingsan karena kelelahan. ”Tapi dibandingkan tahun lalu,tahun ini lebih baik. Lebih tertib,” kata Abdul Majid, 42, warga Lamongan yang mengaku setiap tahun mengharap zakat dari keluarga H Ghaffar Ismail itu.
Ghaffar Ismail belum bisa dikonfirmasi. Namun, berdasar informasi dari panitia, pengasuh Ponpes Sabilillah itu membagikan zakat sedikitnya Rp2 miliar.Panitia menyediakan sedikitnya 12.000 amplop. ”Ini sudah tradisi tahunan. Sejak dahulu.Namun, kali ini lebih tertib,” Nur Rohman, salah satu panitia menerangkan. (as)

25 September 2008

"CAROK & CLURIT" Dalam Masyarakat Adat Madura

SURABAYA : CAROK dan celurit laksana dua sisi mata uang. Satu sama lain tak bisa dipisahkan. Hal ini muncul di kalangan orang-orang Madura sejak zaman penjajahan Belanda abad 18 M. Carok merupakan simbol kesatria dalam memperjuangkan harga diri (kehormatan).

Pada zaman Cakraningrat, Joko Tole dan Panembahan Semolo di Madura, tidak mengenal budaya tersebut. Budaya yang ada waktu itu adalah membunuh orang secara kesatria dengan menggunakan pedang atau keris. Senjata celurit mulai muncul pada zaman legenda Pak Sakera. Mandor tebu dari Pasuruan ini hampir tak pernah meninggalkan celurit setiap pergi ke kebun untuk mengawasi para pekerja. Celurit bagi Sakera merupakan simbol perlawanan rakyat jelata. Lantas apa hubungannya dengan carok?Carok dalam bahasa Kawi kuno artinya perkelahian. Biasanya melibatkan dua orang atau dua keluarga besar.


Bahkan antarpenduduk sebuah desa di Bangkalan, Sampang, dan Pamekasan. Pemicu dari carok ini berupa perebutan kedudukan di keraton, perselingkuhan, rebutan tanah, bisa juga dendam turun-temurun selama bertahun-tahun.Pada abad ke-12 M, zaman kerajaan Madura saat dipimpin Prabu Cakraningrat dan abad 14 di bawah pemerintahan Joko Tole, istilah carok belum dikenal. Bahkan pada masa pemerintahan Penembahan Semolo, putra dari Bindara Saud putra Sunan Kudus di abad ke-17 M tidak ada istilah carok.Munculnya budaya carok di pulau Madura bermula pada zaman penjajahan Belanda, yaitu pada abad ke-18 M. Setelah Pak Sakerah tertangkap dan dihukum gantung di Pasuruan, Jawa Timur, orang-orang bawah mulai berani melakukan perlawanan pada penindas. Senjatanya adalah celurit. Saat itulah timbul keberanian melakukan perlawanan.Namun, pada masa itu mereka tidak menyadari, kalau dihasut oleh Belanda. Mereka diadu dengan golongan keluarga Blater (jagoan) yang menjadi kaki tangan penjajah Belanda, yang juga sesama bangsa. Karena provokasi Belanda itulah, golongan blater yang seringkali melakukan carok pada masa itu. Pada saat carok mereka tidak menggunakan senjata pedang atau keris sebagaimana yang dilakukan masyarakat Madura zaman dahulu, akan tetapi menggunakan celurit sebagai senjata andalannya.Senjata celurit ini sengaja diberikan Belanda kepada kaum blater dengan tujuan merusak citra Pak Sakera sebagai pemilik sah senjata tersebut. Karena beliau adalah seorang pemberontak dari kalangan santri dan seorang muslim yang taat menjalankan agama Islam.

Celurit digunakan Sakera sebagai simbol perlawanan rakyat jelata terhadap penjajah Belanda. Sedangkan bagi Belanda, celurit disimbolkan sebagai senjata para jagoan dan penjahat.Upaya Belanda tersebut rupanya berhasil merasuki sebagian masyarakat Madura dan menjadi filsafat hidupnya. Bahwa kalau ada persoalan, perselingkuhan, perebutan tanah, dan sebagainya selalu menggunakan kebijakan dengan jalan carok. Alasannya adalah demi menjunjung harga diri. Istilahnya, daripada putih mata lebih baik putih tulang. Artinya, lebih baik mati berkalang tanah daripada menanggung malu.Tidak heran jika terjadi persoalan perselingkuhan dan perebutan tanah di Madura maupun pada keturunan orang Madura di Jawa dan Kalimantan selalu diselesaikan dengan jalan carok perorangan maupun secara massal. Senjata yang digunakan selalu celurit. Begitu pula saat melakukan aksi kejahatan, juga menggunakan celurit.Kondisi semacam itu akhirnya, masyarakat Jawa, Kalimantan, Sumatra, Irian Jaya, Sulawesi mengecap orang Madura suka carok, kasar, sok jagoan, bersuara keras, suka cerai, tidak tahu sopan santun, dan kalau membunuh orang menggunakan celurit. Padahal sebenarnya tidak semua masyarakat Madura demikian.Masyarakat Madura yang memiliki sikap halus, tahu sopan santun, berkata lembut, tidak suka bercerai, tidak suka bertengkar, tanpa menggunakan senjata celurit, dan sebagainya adalah dari kalangan masyarakat santri. Mereka ini keturunan orang-orang yang zaman dahulu bertujuan melawan penjajah Belanda.Setelah sekian tahun penjajah Belanda meninggalkan pulau Madura, budaya carok dan menggunakan celurit untuk menghabisi lawannya masih tetap ada, baik itu di Bangkalan, Sampang, maupun Pamekasan.
Mereka mengira budaya tersebut hasil ciptaan leluhurnya, tidak menyadari bila hasil rekayasa penjajah Belanda. Ibnu Hajar, Budayawan DALAM sejarah orang Madura belum dikenal istilah carok massal. Sebab, carok adalah duel satu lawan satu seperti aksi perang koboi di Las Vegas, dan ada kesepakatan sebelumnya untuk melakukan duel. Bahkan disertai ritual-ritual tertentu sebagai persiapan menjelang carok. Kedua belah pihak pelaku carok, sebelumnya sama-sama mendapat restu dari keluarga masing-masing. Karenanya, sebelum hari H duel maut bersenjata celurit dilakukan, di rumahnya diselenggarakan selamatan, pembekalan, pengajian, dan lainnya. Oleh keluarganya, pelaku carok sudah dipersiapkan dan diikhlaskan untuk terbunuh.“Ketika media massa memberitakan tentang carok massal, saya tidak sepakat dengan istilah itu. Yang terjadi di Desa Bajur Tengah bukanlah dikategorikan carok, tapi tawuran massal, kerena tidak sesuai dengan arti carok sebenarnya.

Carok adalah sebuah pembelaan harga diri ketika diinjak-injak oleh orang lain, yang berhubungan dengan harta, tahta, dan wanita. Intinya adalah demi kehormatan,” papar Ibnu Hajar, budayawan Sumenep.Sebenarnya budaya carok yang sudah menjadi ikon bagi orang Madura, sampai detik ini masih belum jelas asal-muasalnya. Berdasarkan legenda rakyat, adalah bermula dari perkelahian antara Pak Sakera dengan dua bersaudara, Markasan dan Manbakri, yang antek-antek Belanda. Senjata Pak Sakera adalah celurit. Karenanya, setiap perkelahian bersenjatakan celurit, untuk gambangnya dinamai carok.“Tapi saya punya asumsi, istilah carok lebih kental dipengaruhi budaya Jawa masa kerajaan Singasari. Di mana waktu itu Ken Arok yang merebut kekuasaan membunuh Akuwuh Singasari, Tunggul Ametung, kemudian ia mengawini istrinya, Ken Dedes. Kendati sebelumnya mendapat kutukan bahwa keturunannya akan saling membunuh sampai tujuh turunan. Istilah carok sendiri hampir sama dengan kata Ken Arok,” ujar Ibnu Hajar.“Bagi saya sebagai orang Madura, tidak bangga dengan budaya carok, tapi ini adalah sebuah kenyataan tentang budaya kita dan budaya carok sangatlah adiluhung. Carok menunjukkan sikap gentlemen orang Madura dalam membela harga dirinya dan memenuhi tanggung jawabnya. Meski ini bukanlah wujud pembenaran dalam sarkasme carok itu sendiri,” imbuh Hajar.Adapun pepatah yang mengatakan, etembeng pote mata lebih bagus pote tolang yang menjadi motivasi untuk melakukan carok, seharusnya tidak dipahami secara eksklusif, karena setiap orang — dimana saja tidak hanya orang Madura — punya pemahaman yang sama untuk membela harga dirinya, kebetulan kita mempunyai budaya carok.
Sekali lagi harus diluruskan bahwa tidak ada istilah carok massal, karena carok dilakukan dengan adanya kesepakatan satu lawan satu dan tidak boleh ada yang mengganggu di saat duel, siapa yang mati harus menerima, dan anak-anaknya harus membalasnya sampai tujuh turunan. Senjata CeluritSejarah tentang carok selalu diindentikkan dengan celurit yang sampai saat ini masih menjadi ciri khas orang Madura. Keberadaan celurit punya makna filosofi di mata orang Madura, ini bisa dilihat dari bentuknya yang seperti tanda tanya, itu menunjukkan bahwa orang Madura selalu tidak puas terhadap fenomena yang terjadi di sekitarnya. Kebiasaan orang Madura ketika membawa celurit selalu diletakkan di pinggang samping kiri, karena menurut orang Madura tradisi seperti itu sebagai upaya pembelaan harga diri laki-laki di Madura, dan sebagai pelengkap karena tulang rusuknya laki-laki kurang satu. Makanya orang Madura menggunakan celurit untuk melengkapi tulang rusuknya yang kurang satu.

Celurit untuk membela istri, harta, dan tahta ketika digangu orang lain, dan orang laki-laki Madura belum lengkap tanpa celurit.Keberadaan orang Madura sebagai orang tegalan yang tandus dan gersang, membuat mereka merasa kecil dan rendah hati sebagai orang yang jauh dari pusat kekuasaan Singasari pada waktu itu. Makanya kita sering mendengar sekarang, jika orang Madura akan pergi ke Jawa ia bilang ongke’eh (naik) dan jika pulang ke Madura bilang toronah (turun) ini menujukkan bahwa orang Madura selalu merasa rendah diri.
Celurit memang tak bisa dipisahkan dari kehidupan sehari-hari masyarakat Madura, Jawa Timur. Senjata tajam yang berbentuk melengkung ini begitu melegenda. Sejak dahulu kala hingga sekarang, hampir setiap orang di Tanah Air mengenal senjata khas etnis Madura ini. Saking populernya, celurit kerap diidentikkan dengan berbagai tindak kriminal. Bahkan celurit juga digunakan oleh massa saat terjadi kerusuhan maupun demonstrasi di pelosok Nusantara untuk menakuti lawannya.

Boleh jadi, begitu mendengar kata Madura, dalam benak sebagian orang bakal terbayang alam yang tandus, wajah yang keras dan perilaku menakutkan. Kesan itu seolah menjadi benar tatkala muncul kasus-kasus kekerasan yang menggunakan celurit dengan pelaku utamanya orang Madura.

Kendati demikian tak semua orang mengetahui sejarah dan proses sebuah celurit itu dibuat hingga dikenal luas. Di tempat asalnya, celurit pada mulanya hanyalah sebuah arit. Petani pun kerap menggunakan arit untuk menyabit rumput di ladang dan membuat pagar rumah. Dalam perkembangannya, arit itu diubah menjadi alat beladiri yang digunakan oleh rakyat jelata ketika menghadapi musuh.

Demikian pula pendapat D. Zawawi Imron. Seniman sekaligus budayawan Madura ini menuturkan, kalangan rakyat kecil memperlakukan celurit sebagai senjata tajam biasa. Dengan kata lain, celurit itu bukan dianggap senjata sakti.
Kini, masyarakat Madura masih memandang celurit sebagai senjata yang tak terlepas dari kehidupan sehari-hari. Tak mengherankan, bila pusat kerajinan senjata tajam itu banyak bertebaran di Pulau Madura.

Tersebutlah sebuah desa kecil bernama Peterongan. Kampung ini terletak di Kecamatan Galis, sekitar 40 kilometer dari Kabupaten Bangkalan. Di sana, sebagian besar penduduk menggantungkan hidupnya sebagai pandai besi pembuat arit dan celurit. Keahlian mereka adalah warisan leluhur sejak ratusan tahun lampau. Tak salah memang, bila desa ini menjadi kondang. Maklum, celurit buatan para perajin di Desa Peterongan itu dikenal kokoh dan halus pengerjaannya. Seorang di antara mereka adalah Salamun. Siang itu, lelaki berusia 54 tahun ini menemui Sunarto utusan dari sebuah padepokan silat terkenal di Kecamatan Kamal, Bangkalan.

Sunarto pun meminta Salamun mengerjakan sebilah celurit berjenis bulu ayam. Bagi Salamun, membuat celurit adalah bagian dari napas kehidupannya. Celurit tak hanya sekadar dimaknai sebagai benda tajam yang digunakan untuk melukai orang. Akan tetapi celurit adalah karya seni yang mesti dipertahankan dari warisan leluhurnya.Pagi itu, Salamun didampingi putranya berbelanja membeli besi tua yang berada di sudut Desa Peterongan. Di antara tumpukan besi itu, Salamun memilih besi bekas rel kereta api dan per bekas jip sebagai bahan baku membuat celurit pesanan Sunarto.

Besi pilihan itu lantas dibawa menuju bengkel pandai besi miliknya yang berada tak jauh dari halaman rumahnya. Batangan besi tersebut kemudian dibelah dengan ditempa berkali-kali untuk mendapatkan lempengannya. Setelah memperoleh lempengan yang diinginkan, besi pipih itu lantas dipanaskan hingga mencapai titik derajat tertentu.Logam yang telah membara itu lalu ditempa berulang kali sampai membentuk lengkungan celurit yang diinginkan. Dengan dibantu ketiga anaknya, Salamun membuat celurit pesanan padepokan silat tersebut dengan penuh ketelitian. Sebab dia memandang celurit harus mencirikan sebuah karya seni. Tak sekadar sepotong besi yang ditempa berkali kali, melainkan harus memiliki arti dan makna bagi yang memilikinya.

Lantaran itulah, sebelum mengerjakan sebilah celurit, Salamun biasa berpuasa terlebih dahulu. Bahkan saban tahun, tepatnya pada bulan Maulid, Salamun melakukan ritual kecil di bengkelnya. Menurut Salamun, ritual ini disertai sesajen berupa ayam panggang, nasi dan air bunga. Sesajen itu kemudian didoakan di musala. Baru setelah itu, air bunga disiramkan ke bantalan tempat menempa besi. “Kalau ada yang melanggar (mengganggu), ia akan mendapatkan musibah sakit-sakitan,” ucap Salamun. Hingga kini, tombuk atau bantalan menempa besi pantang dilangkahi terlebih diduduki oleh orang. Keahlian pak Salamun membuat celurit tak bisa dilepaskan dari warisan orang tua dan leluhur kakeknya. Semenjak kecil dirinya sudah dilibatkan cara membuat celurit yang benar.

Salamun mengungkapkan, buat mengerjakan sebuah celurit besar, dibutuhkan waktu sekitar dua hingga empat hari. Adapun harga celurit tergantung dari bahan dan ukuran motifnya. Celurit paling murah dilepas seharga Rp 100.000. Pria itu termasuk produktif. Betapa tidak, sudah ribuan celurit yang dihasilkan dari tempaan Salamun. Namun kini, Salamun lebih berhati-hati menerima pesanan celurit. Dia beralasan, banyak orang yang tak memahami filosofi celurit. Minimnya pemahaman inilah yang mengakibatkan celurit lebih banyak digunakan untuk tindak kejahatan. Sebaliknya, bagi yang mengerti, celurit itu tentunya digunakan lebih berhati-hati. Pendapat itu memang beralasan. Soalnya celurit juga diartikan sebagai lambang ksatria. Dan, bukan malah untuk sembarang menyabet orang.

Di Madura, banyak dijumpai perguruan pencak silat yang mengajarkan cara menggunakan celurit. Satu di antaranya Padepokan Pencak Silat Joko Tole, pimpinan Hasanuddin Buchori. Perguruan ini mengambil nama dari seorang ksatria asal Sumenep. Kala itu Madura dibagi menjadi dua wilayah kerajaan besar, yaitu Madura Timur di Sumenep dan Madura Barat di Arosbaya Bangkalan. Adapun peninggalan Kerajaan Madura Barat masih terlihat dalam situs makam-makam kuno di Arosbaya. Dan hari ini, perguruan yang banyak mengorbitkan atlet pencak silat nasional itu secara rutin berlatih meneruskan cita-cita dan semangat leluhurnya, Joko Tole. Padepokan Silat Joko Tole selama ini cukup kesohor di kalangan pencak silat di Tanah Air. Terutama dalam mengajarkan penggunaan senjata tradisional celurit.

Walaupun hanya sebuah benda mati, celurit memiliki beragam cara penggunaannya. Ini tergantung dari niat pemakainya. Di Perguruan Joko Tole, misalnya. Celurit tidak sekadar diajarkan untuk melumpuhkan lawan. Namun seorang pemain silat harus memiliki batin yang bersih dengan berlandaskan agama.Sebagian masyarakat menganggap celurit tak bisa dipisahkan dari tradisi carok yang dianut oleh sebagian orang Madura. Sayang, hingga kini, belum satu pun peneliti yang bisa menjelaskan awal mula carok menjadi bagian hidup orang Madura. Yang terang, pada dasarnya carok biasa dilakukan ketika seseorang merasa dipermalukan dan harga dirinya dilecehkan. Maka, penyelesaian yang terhormat adalah dengan berduel secara ksatria satu lawan satu.

Latar belakang perkelahian seperti itu diakui Zawawi Imron. Budayawan ini menerangkan, ada adigium Madura yang mengatakan: Dibandingkan dengan putih mata lebih bagus putih tulang. Artinya, daripada hidup malu lebih baik mati. Dengan kata lain, ketika orang Madura dipermalukan, maka ia berbuat pembalasan dengan melakukan carok terhadap yang menghinanya itu. Namun dalam perkembangannya, arti carok sendiri menjadi tidak jelas. Terutama bila dihubungkan dengan nyelep, yakni menyerang musuh dari belakang atau ketika lawan sedang lengah. Dan, hal itu semakin tidak jelas manakala banyak kasus kekerasan yang bermotifkan sosial ekonomi.

Sedangkan arti carok dilihat dari Wikipedia Indonesia mempunyai arti Carok merupakan tradisi bertarung satu lawan satu dengan menggunakan senjata (biasanya celurit). Tidak ada peraturan resmi dalam pertarungan ini karena carok merupakan tindakan yang dianggap negatif dan kriminal serta melanggar hukum. Ini merupakan cara suku Madura dalam mempertahankan harga diri dan "keluar" dari masalah yang pelik. Banyak yang menganggap carok adalah tindakan keji dan bertentangan dengan ajaran agama meski suku Madura sendiri kental dengan agama Islam pada umumnya tetapi, secara individual banyak yang masih memegang tradisi Carok. Kata carok sendiri berasal dari bahasa Madura yang berarti 'bertarung dengan kehormatan'. Biasanya, "carok" merupakan jalan terakhir yang di tempuh oleh masyarakat suku Madura dalam menyelesaikan suatu masalah. Carok biasanya terjadi jika menyangkut masalah-masalah yang menyangkut kehormatan/harga diri bagi orang Madura, sebagian besar karena masalah perselingkuhan dan harkat martabat/kehormatan keluarga. ( oleh Koewatno Hadi Sapoetro / dari berbagai sumber )

Carok Antarkeluarga, 1 Tewas

PAMEKASAN, MADURA (SINDO) – Aksi carok hingga menyebabkan nyawa melayang kembali terjadi di wilayah hukum Polres Pamekasan.
Kali ini, 5 orang yang masih terikat hubungan keluarga terlibat carok maut, tepatnya di Jalan Desa Debuan,Kecamatan Proppo, Kabupaten Pamekasan,kemarin.Akibatnya, 1 orang dinyatakan tewas seketika itu di lokasi kejadian akibat sabetan senjata tajam jenis celurit, 2 orang kritis akibat luka parah di sekujur tubuh mereka,serta 2 orang lainnya berhasil melarikan diri dan mengalami luka ringan.
Korban tewas diketahui bernama Abdul Bari, 22,warga Desa Gro’om,Kecamatan Proppo, Kabupaten Pamekasan. Korban tersebut tewas dalam kondisi yang cukup mengenaskan dengan perut terburai, kepala terbelah, dan beberapa bagian tubuh luka parah. Korban kritis diketahui bernama Damhuri, 35; dan Holis, 45, keduanya warga Desa Lampa’an, Kecamatan Camplong, Kabupaten Sampang. Damhuri mengalami luka yang cukup parah di bagian pelipis dan dada, sedangkan Holis mengalami luka di punggung dan dahi.Keduanya masih menjalani perawatan intensif di RSUD Pamekasan.
Informasi yang diperoleh dari lokasi kejadian, carok maut tersebut diduga buntut dari pelaksanaan Pilihan Kepala Desa (Pilkades) Gro’om, Kecamatan Proppo, Pamekasan, yang terjadi dua tahun lalu.Korban tewas,Abdul Bari, merupakan pendukung dari calon Kades Hosen, yang kalah dan kini dihukum karena kasus pemalsuan ijazah. Sementara korban luka parah yakni Damhuri dan Holis merupakan pendukung Kades Gro’om terpilih,Abdul Latif. Nah, sejak jagonya dinyatakan kalah, Abdul Bari menaruh dendam kesumat terhadap Abdul Latif dan keluarganya yang selama ini dikenal loyal dan menjadi tim sukses dalam kemenangan Kades Abdul Latif. Rasa dendam kesumat tersebut tertumpahkan kemarin. Saat itu korban Holis dan Damhuri mengendarai sepeda motor hendak pulang ke rumah istrinya di kawasan Kampung Salambah, Desa Gro’om.Saat melintas di Desa Dabuan,Abdul Bari dan dua temannya langsung mencegat Holis dan Damhuri sambil mencaci maki Holis. Cekcok mulut kedua kubu tersebut semakin memanas hingga berujung dengan dikeluarkannya senjata tajam berupa celurit dan pisau oleh kedua kubu. Kejadian selanjutnya, kedua kubu tersebut terlibat aksi carok maut hingga akhirnya Abdul Bari tewas.
Kasatreskrim Polres Pamekasan AKP Kholil membenarkan adanya kejadian carok tersebut. Dia menjelaskan, motif carok belum jelas karena dua orang pelaku masih tergolek di rumah sakit sehingga pemeriksaan belum dilakukan.”Kami masih sebatas mengumpulkan informasi di lokasi kejadian.Jadi,belum bisa diperoleh penjelasan secara rinci tentang kejadian ini.Tolong beri kami waktu. Setelah kedua buronan yang kabur itu tertangkap, akan kami jelaskan,”kata Kholil. Mantan Kapolsek Camplong ini menambahkan, guna mengantisipasi berbagai hal yang tidak diinginkan, termasuk adanya serangan balasan dari pihak keluarga korban yang tewas, dia mengaku sudah menerjunkan beberapa personel keamanan, baik yang berpakaian dinas maupun bebas.”Kami hanya berjaga-jaga di sekitar lokasi kejadian,termasuk di rumah korban tewas. Ya, hanya sebatas antisipasi,” katanya.

Di Tahun 2009, Sekolah Swasta se-Jatim Bebas SPP


SURABAYA (SINDO) – Tak hanya Surabaya yang menggratiskan biaya sumbangan penyelenggaraan pendidikan (SPP).Tahun depan,semua siswa sekolah swasta di Jawa Timur dijamin bebas biaya.


Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (P dan K) Jatim menjamin, mulai 2009, semua biaya pendidikan di sekolah negeri maupun swasta makin ringan. SPP sekolah swasta bisa digratiskan. Menurut Kepala Dinas P dan K Jatim Rasiyo,keluarnya Peraturan Pemerintah (PP) No 48/2008 tentang Pendanaan Pendidikan membawa angin segar bagi dunia pendidikan. Semua biaya operasional pendidikan ditanggung pemerintah, baik sekolah negeri maupun swasta. ”Makanya sekolah kami sarankan segera melakukan sosialisasi dengan wali murid. Sehingga kebutuhan biaya pendidikan tidak lagi dibebankan pada siswa,” ujar Rasiyo kemarin. Rasiyo mengimbau, semua kebutuhan sekolah harus disampaikan secara transparan pada wali murid. Dengan demikian tidak ada lagi biaya ”siluman”yang sengaja ditutup-tutupi sekolah.Kecurangan di sekolah bisa diminimalisasi. Untuk menarik biaya investasi dan pengembangan, menurut Rasiyo, sekolah swasta harus minta izin wali murid. Sehingga ada kesepakatan antara sekolah dan wali murid dalam menentukan besaran kebutuhan biaya investasi dan pengembangan sekolah. ”Pada prinsipnya tidak ada masalah sekolah minta bantuan pendidikan.


Siswa dari keluarga miskin tidak punya kewajiban membayar bantuan pendidikan. Jadi, siapa saja yang ingin menyumbang sekolah,tetap memiliki kesempatan,” ujar mantan Kepala SMPN 1 Gresik tersebut. Sekolah dianjurkan berkreasi sendiri. Dengan kreatif, sekolah tak akan selamanya bergantung pada pemerintah. ”Cuma, jangan sampai memaksakan diri menarik biaya dari siswa yang tidak mampu.Namun,bagi wali murid yang ingin memberikan bantuan dana bisa diterima. Partisipasi masyarakat memang diperlukan untuk mendukung pendidikan,”ungkap pria kelahiran Kabupaten Madiun tersebut. Untuk meminimalisasi terjadinya penyelewengan,Dinas P dan K Jatim mengirimkan 5.000 tenaga pengawas. Tiap pengawas menangani 10–15 sekolah. tiap tiga bulan para pengawas harus melaporkan hasil pantauannya. ”Saya yakin, kalau seperti itu pengawasannya, jelastidakadalagi penyelewengan dana pendidikan di sekolah,”ujarnya.


Kepala Dinas Pendidikan (Dindik) Surabaya Sahudi menambahkan, sekolah harus bisa membedakan biaya yang ditanggung pemerintah dengan yang ditanggung sendiri oleh sekolah. Untuk menarik biaya investasi dan pengembangan, sekolah swasta harus minta izin wali murid. Sehingga ada kesepakatan bersama antara sekolah dan wali murid dalam menentukan kebutuhan biaya pengembangan sekolah. Mantan Kepala SMAN 15 Surabaya itu menambahkan, biaya penambahan ruang kelas, fasilitas sekolah, sampai pengadaan buku tidak masuk biaya operasional.Penambahan itu masuk biaya investasi dan pengembangan sekolah. ”Jadi harus jelas ditulis dalam rancangan anggaran pendapatan belanja sekolah (RAPBS). Sehingga Dindik juga tahu kebutuhan sekolah seperti apa,”imbuh pria kelahiran Banyuwangi itu.


Kepala SD Al Hikmah Surabaya –salah satu sekolah swasta di Surabaya– Gatot Sulanjono meminta,seharusnya penerapan PP No 48/2008 diperjelas. Pasalnya,biaya operasional masing-masing sekolah swasta berbeda. Pengeluaran untuk itu jelas beda antara satu sekolah dengan sekolah lainnya. Sampai saat ini pihaknya belum menerima informasi tentang pelaksanaan PP itu. Pihaknya khawatir PP tidak bisa diterapkan karena kurangnya sosialisasi. Untuk itu,Dindik Surabaya harus segera mengumpulkan sekolah swasta untuk menentukan kesepakatan biaya yang akan ditanggung pemerintah. Sehingga pihak sekolah juga tidak kesulitan menentukan biaya lainnya. ”Kalau di sekolah kami saja biaya untuk listrik bisa jutaan. Biaya itu jelas berbeda dengan sekolahyanglain.Apalagijenis sekolah swasta beragam, ada yang memberikan layanan lebih, sehingga sulit disamakan. Apalagi bagi sekolah swasta yang sudah menerapkan fullday school,”ungkapnya.